Jumat, 03 Desember 2010

PERBANDINGAN UPAH BURUH DAN CEO DI INDONESIA


Inekuitas Vertikal di Indonesia
oleh: Rahmat Febrianto

Upah buruh di Indonesia adalah satu masalah dengan dua sisi pandang. Dari sisi pandang makro, upah buruh yang rendah di Indonesia adalah "berkah". Dengan upah yang rendah, biaya produksi otomatis akan rendah, barang bisa dijual dengan harga yang lebih rendah juga. Harga barang yang lebih rendah memungkinkan produk Indonesia, atau produk yang diproduksi dengan tenaga manusia Indonesia bisa bersaing di pasar internasional. Dengan fakta dan logika inilah, maka sejak zaman orde baru yang lalu, investasi asing di Indonesia mulai masuk. Banyak perusahaan asing yang membangun pabrik di Indonesia dengan orientasi pasar luar negeri. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Asia Timur yang lain.

Di sisi lain, upah buruh yang rendah adalah bencana bagi buruh. Dalam jangka pendek, penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan padat karya adalah solusi untuk masalah pengangguran. Pertumbuhan penduduk yang cepat di Indonesia yang tidak diiringi dengan kesempatan pendidikan maupun pekerjaan yang sama membuat suplai tenaga kerja akhirnya melimpah. Sehingga, dalam jangka panjang, ketika suplai berlimpah, hukum permintaan tenaga kerja akan “menghukum” keberlimpahan tersebut. Posisi tawar-menawar perusahaan menjadi lebih kuat dibandingkan dengan posisi buruh, sehingga buruh hanya bisa mematuhi aturan yang dibuat untuk mereka. Termasuk dalam hal ini adalah aturan tentang upah.

Upah buruh di Indonesia adalah masalah berkepanjangan yang tidak pernah selesai. Buruh selalu menjadi sasaran “rasionalisasi” demi efisiensi. Logika ini benar jika kita melihat besaran upah yang diberikan kepada buruh secara agregat. Pengurangan buruh beberapa ribu orang akan bisa menghemat biaya beberapa milyar per bulan dan ratusan milyar per tahun. Penghematan itu otomatis akan meningkatkan ROE, ROI, atau ROA perusahaan karena penghematan itu akan berhubungan langsung dengan biaya-biaya pengurang laba. Manajer akan tetap selamat ketika return perusahaan sesuai atau melebihi target.

Upah sebenarnya bukan satu-satunya biaya produksi langsung yang bisa dihemat oleh perusahaan, baik dalam kondisi perekonomian baik atau krisis seperti saat ini. Biaya bahan baku, misalnya, adalah komponen lain yang juga bisa dihemat. Namun, sebagian perusahaan mungkin memiliki daya tawar-menawar yang lemah terhadap pemasok bahan baku sehingga mereka tidak bisa melakukan efisiensi bahan baku. Bahan baku mungkin dipasok dari induk perusahaan dan anak perusahaan di Indonesia sengaja didirikan untuk tujuan perakitan produk. Dengan posisi begini, maka jelas perusahaan yang ada di Indonesia tidak memiliki alternatif lain selain memakai bahan baku yang disuplai oleh induk. Sehingga, ketika krisis terjadi, pilihan efisien paling mungkin pada sisi agar bisa menekan atau mempertahankan harga produk adalah dengan menekan biaya tenaga kerja. Jika krisis yang saat ini terjadi AS dipercaya akan melanda Asia, terutama Indonesia, tahun 200, maka menurut perhitungan ILO, di Indonesia akan terjadi pemecatan sekitar 600.000 orang karyawan. Angka ini menurut Syofyan Wanandi adalah angka yang moderat karena di sektor properti saja akan terjadi pengangguran sekitar 10% dari 15 juta buruh di industri tersebut (Pikiran Rakyat, 20 Desember 2008).

Proporsi pengurangan tersebut tidak mungkin tidak didominasi oleh karyawan level bawah (buruh).

Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah memang upah buruh adalah satu-satunya solusi agar perusahaan bisa tetap berjalan, terutama selama krisis ini berlangsung? Bagaimana dengan “upah” pekerja yang lain? Apakah tidak mungkin juga untuk dikurangi? Atau mengapa “upah” selain upah buruh tidak berkurang pula jika pengurangan upah adalah salah satu solusi keluar dari krisis?

Paper ini akan membahas masalah besarnya perbedaan antara rasio upah yang diterima oleh buruh dengan rasio upah (yang di dalam paper ini akan disebut dengan kompensasi tunai atau gaji) yang diterima oleh manajer level atas (di paper ini akan disebut CEO saja) di Indonesia. Perbedaan rasio yang sangat tinggi akan menimbulkan inekuitas vertikal antara buruh dengan CEO.

Berapa besar kompensasi tunai dan non-tunai dan benefit lain yang diterima oleh seorang CEO di Indonesia tidak bisa diketahui secara pasti. Aturan tentang pengungkapan besaran kompensasi tersebut tidak pernah tegas—bahkan bagi perusahaan publik atau BUMN sekalipun. Penelusuran yang penulis lakukan di internet, misalnya, hanya bisa menemukan berita besaran gaji CEO dan komisaris beberapa perusahaan di Indonesia. Berikut ini adalah kutipannya.

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Bank Mandiri (BMRI) menyetujui kenaikan gaji direksi sebesar 10 persen. "Gaji direksi dinaikkan 10 persen, namun angka ini masih di bawah dibanding dengan gaji direksi bank lain," kata Wakil Direktur Utama BMRI Wayan Agus Mertayasa. Gaji direktur utama dinaikkan 10 persen dari Rp107 juta menjadi Rp118 juta per bulan. Sementara persentase gaji wakil direktur utama, para direktur, komisaris utama, wakil komisaris utama dari para komisaris serta sekretaris komisaris masing-masing sebesar 95 persen, 90 persen, 40 persen, 38 persen, 36 persen dan 15 persen dari gaji direktur utama….(http://www.antara.co.id/arc/2007/5/28/gaji-direksi-bank-mandiri-naik-10-persen/diambil tanggal 2 Januari 2009).

Berita lain penulis dapatkan dari situs lain yang mengutip Bisnis Indonesia edisi 4 Juni 2008 (http://www.madani-ri.com/2008/06/12/apakah-gaji-eksekutif-indonesia-kemahalan, diambil tanggal 2 Januari 2009.)

Remunerasi Manajemen PT Telkom 2007 adalah sebagai berikut. Tanri Abeng sebagai komisaris akan menerima remunerasi per tahun senilai Rp.2,15 milyar, Anggito Abimanyu Rp.1,89 milyar, dan Arif Arryman Rp.1,96 milyar. Direksi Rinaldi Firmansyah Rp.4,74 milyar (tertinggi) dan Ermady Dahlan Rp.2,53 milyar (terendah).

Bandingkan remunerasi yang diterima eksekutif perusahaan-perusahaan publik Indonesia berikut ini. PT Telkom (5 komisaris dan 8 direksi) membayar Rp.45,18 milyar pada tahun 2007; BRI Rp.60,90 milyar (5 komisaris, 5 direksi); Astra Int'l Rp.297,70 milyar (5 komisaris, 5 direksi); BCA Rp. 38,14 milyar (5 komisaris, 7 direksi); Bank Mandiri Rp.45,12 milyar (3 komisaris, 3 direksi); dan Indofood Rp.30,55 milyar (3 komisaris, 2 direksi).

Bukti anekdotal lain penulis dapatkan dari acara Kick Andy di Metro TV tanggal 24 Oktober 2008 dengan tamu Sugiharto, mantan CEO Medco Energy. Di dalam wawancara tersebut beliau mengungkapkan bahwa pajak penghasilan pribadi, bukan dari potongan perusahaan (PPh Pasal 21), selama tiga tahun awal dasawarsa 2000-an ketika masih di Medco adalah 1,1 milyar rupiah. Jika diasumsikan tarif pajak efektif adalah 30%, maka penghasilan bersihnya selama tiga tahun adalah Rp.3.600.000.000 atau Rp.1,2 milyar setahun atau rata-rata Rp.101 juta sebulan. Penjelasan Sugiharto sebelumnya mengatakan bahwa pajak tersebut adalah yang ia bayar sendiri, belum termasuk yang dipotong oleh perusahaan. Artinya, penghasilan aktualnya masih bisa lebih besar lagi.

Penulis mencoba memeriksa-silang besaran gaji tersebut dengan sumber lain. Menurut sumber yang penulis dapat, gaji seorang direktur anak perusahaan Medco saat ini adalah USD 40 ribu setahun (setara Rp.4 milyar setahun). Sangat mungkin bahwa CEO akan menerima hingga dua kali lebih tinggi daripada itu. Artinya, seorang CEO Medco E&P saat ini punya rentang penghasilan antara 60 ribu hingga 100 ribu dollar per tahun, terutama jika dikaitkan dengan rumus penggajian Bank Mandiri di atas. Jika diacu-silang ke daftar di atas, maka memang bisa dipastikan bahwa per bulan seorang CEO minimal akan menerima “upah” mulai dari Rp.160 juta per bulan (Indofood, HM Sampoerna, Aneka Tambang, dan United Tractors) hingga Rp.830 juta per bulan (Bank BNI). Jadi, pernyataan Sugiharto tersebut memang benar dan bahkan bisa dikatakan perkiraan yang penulis buat lebih rendah—karena yang penulis kalikan dengan tarif pajak itu hanyalah “penghasilan bersih” yang telah dikurangkan dari “penghasilan kotor”.

Sumber : http://rfebrianto.blogspot.com/2010/02/inekuitas-vertikal-di-indonesia.html

1 komentar:

  1. wah, jauh juga ya berbedaannya, enak yang jadi CEO, apalagi perusahaan besar macam XL, Telkomsel, mantap tuh

    BalasHapus